Jalan Tengah

Aku masih ingat pagi itu dimana pisau terlempar dari dapur dengan tangis yang mengisi seluruh isi rumah tepat semalam kakak pertamaku pergi dikuburkan. Ibuku, dengan segala kecintaannya melepaskan tangisnya lagi setelah jalan pilihannya untuk pergi digagalkan pagi itu. Aku bahkan tak berusaha menahan air mata, seakan bagaimana hatiku pagi itu membekukan segala rasa sakit. Aku hanya terdiam, merasakan amarah yang hingga tubuhku tak mampu merasakan apapun. Aku membencinya sebanyak rasa cinta yang ikut dikuburkan semalam.

Aku ingin menjadi yang selalu ia butuhkan meski meninggalkanku adalah jalan yang ingin ia tempuh, aku ingin menjadi yang selalu disampingnya meski cintanya selalu mengarah di lain arah. Aku yang ia coba tinggalkan akan menjadi karma selama hidupnya.

--

Hari ini akulah tumpuannya, jika tak salah mengira.

Aku menanggung banyak hal secara materi, aku mendengar semua keluhnya, tangisnya ketika harinya dirasa berat bahkan hanya di depanku lah amarahnya bisa diluapkan meski bukan aku penyulutnya.

Kami memiliki jarak yang kami sendiri tau bagaimana mengendalikannya, jangan tanya bagaimana karena akupun tak tau bagaimana menjelaskannya. Kami tak beradampingan layaknya keluarga lainnya, tapi melihat bagaimana kami menyelesaikan masalah kurasa kami cukup pandai bekerja sama.

Beberapa kali ketika bangun tidur siang di akhir pekan aku melihatnya duduk di tangga teras rumah, sendiri menatap jalanan atau mungkin pohon yang dahannya mulai panjang menjuntai. Sering juga aku kaget sendiri ketika akan mandi sepulang kerja, ia duduk sendiri di kursi dapur. Entah itu sedang minum kopi atau menghabiskan sisa makanan hari itu.

Jarak seperti itu lah yang kubangun selama ini. Aku dan amarah keegoisanku di masa lalu memilih menarik diri dan menempati tempat teramanku sendiri, atau bahkan mungkin menjalankan semua kehidupan impianku dalam kepalaku sendiri, sedang ia dengan semua beban di pundaknya dan mungkin sudah berulang kali kehabisan tenaga dan ingin menyerah. Kami tak banyak bicara, sesekali ketika menggunjing tetangga atau bahkan saudara saja. Terakhir aku ikut bicara ketika mendengarnya mengeluh hanya berujung dengan rasa marah akan kesabarannya.

Ingin rasanya secara gamblang mendengar jika akulah yang dia inginkan keberadaannya, tapi melihat aku yang tak pernah juga bisa menyampaikan rasa sayangku padanya, aku memilih merasa cukup dengan hubungan kami saat ini. Aku selalu merasa bersalah dalam setiap kesendiriannya menjalani kehidupan kami, di setiap tangis yang ditahan berulang kali atau di semua titik sabarnya ditanam, aku memilih berada sendiri di kejauhan yang kuciptakan sendiri. Kuharap jalan tengah dalam jarak ini segera kutemukan sebelum kesepian membunuhnya dan meninggalkanku menjadi nyata.

0 comments