Lebaran
Jika tak salah hitung, saat itu lima jam sebelum takbir Lebaran. Tak pernah kubayangkan melihat diriku hancur di tengah hingar bingar Kemenangan. Tangisku tak kalah berisik beradu dengan takbir anak-anak yang memekik, sedang ibuku tak berhenti bertanya kemana kamu dan keluargamu pergi mudik.
Semalaman kubaca ulang percakapan terakhir kita, perdebatan panjang yang tak kumenangkan hingga beberapa pesanmu yang berulang untuk minta dimaafkan. Sudah kumaafkan meski besok bukanlah Lebaran. Entah ini karena memang betul bentuk perasaan atau hanya sebuah penghiburan, kamu tawarkan diri dan waktu jika nanti barangkali aku butuh bantuan. Terima kasih, tapi hari ini aku sudah cukup menyedihkan.
Hari itu hari Lebaran, butuh waktu yang lama untuk bisa melangkah keluar kamar dengan nyaman. Tangisku sudah pecah meski belum mulai sungkeman, air mataku terus menghapus riasan. Ibu tanya kamu datang kapan, sepupu tanya bisa dikenalkan kapan, sisanya memeluk mendoakan. Andai kamu tahu bagaimana di rumah ini kamu begitu dirayakan, apa kamu masih tetap ingin meninggalkan?
Kupahami lagi keputusanmu tak ingin lagi bertahan, meski aku juga tak begitu paham kompromi mana dariku yang kamu rasa memberatkan.
Mungkin karena hari itu Lebaran, hatiku seakan menjadi begitu lapang.
Mungkin karena hari itu Lebaran, air mataku tertahan oleh banyaknya senyuman.
Mungkin karena hari itu Lebaran, kekalutan hatiku mereda tenang.
Mungkin karena hari itu Lebaran, aku melepasmu meski kepala masih penuh dengan banyak pertanyaan.
Entah bagaimana aku setelah Lebaran.

0 comments