Tentang Nala

"Tentang Nala dan hati yang sedang berbunga"

Saat itu Mei, di mana aku tak begitu menginginkan hadiah lain selain badai yang kudoakan cepat pergi. Dia bertanya aku ingin hadiah apa, dan entah bagaimana pertanyaan itu mengembalikan banyak warna.

"Malam nanti ada janji yang ditunggunya, dipilihnya baju terpantas dan bergaya, tak sabarnya ingin segera malam tiba"

Malam itu di penghujung bulan, kami sepakat berjalan beriringan. Dia punya tujuan, sedang aku masih seringkali merasa ketakutan; takut jika nantinya badai ini menarikku lebih kuat dari genggaman tangannya, takut jika semua kemalanganku hanya akan mengecilkan rasa. Barangkali karena peluknya yang penuh asa, aku memberanikan diri menghadapi badai ini dengan banyak bunga darinya. Barangkali karena tawanya setiap menceritakan tujuan kita, aku mulai tak sabar ingin segera tiba.

"Tujuh tepat, pesan singkat diterimanya.
Kabar dari yang ditunggu jadi tak bisa, tak bisa bertemu"

Dua hari itu adalah dua hari yang paling menakutkan bagiku, merajuknya ternyata juga minta waktu. Kukira satu dua hari lagi akan cukup, ternyata hanya semalam untuk mengakhiri perjalanan ini dalam dua paragraf. 

"Lama Nala merasa sulit disuka, bagi Nala malam ini istimewa.
Sedih dia kembali masuk kamarnya. Tentang Nala dan kemurungan hatinya"

"Nala figur sederhana, tak ramai kelilingnya, '92 lahirnya.
Hari besar baginya bila melihat benih cinta.
Bagi Nala, itu langka"

"Lalu Nala mengirim singkat sebuah pesan.
Kepadanya, Nala bertanya:
"Kapan ada waktu lain lagi?""

Dua paragraf itu tak membuatku cukup, bagiku dua paragraf itu nyatanya hanyalah asal penutup. I always tell the truth? apakah itu sekarang hanya sebagai motto hidup? Kebingungan-kebingunganku malam itu hanya menyisakan dirinya dan amarah, memaksa harus menerima untuk tak lagi bersama meski perasaan kami sama. Demi tujuan yang lama kami tata, di tengah gemuruh amarah di dadanya, aku sedikit memaksa:
"Bukankah kita masih belum coba banyak cara?"

--
#30hbc2305

0 comments