Hari yang (masih) Menyenangkan

Aku ingat itu Selasa karena seragam kantormu yang unik, pertama lagi kamu datang dan menjemputku tepat enam belas menit dari pukul tujuh. Teman seruanganku menggoda, aku setengah berlari sambil tersenyum menggelengkan kepala; ada-ada saja. Aku berhenti sejenak di cermin lobby kantor, merapikan rambut dan memastikan mataku tetap tenang tak menyiratkan kebahagiaan yang menjura.

Tak seperti biasanya, kamu menunggu di pinggir jalan malam itu yang kedip lampu sein mobilmu seakan seirama dengan degup jantungku. Aku menyapamu setelah banyak reka adegan di dalam kepalaku, entah percobaan nomor berapa yang keluar malam itu yang kuingat hanya wajah kuyu dan rambut yang lumayan panjang dari biasanya. Entah pula bagaimana hubungan kita ini diramu, malam itu sama hangatnya seperti hari-hari kita biasa bertemu.

Sejak Selasa itu namamu semakin sering kubaca lagi, bertukar video lucu sesekali, atau bingung memilih kedai minum kopi. Bohong rasanya jika aku tak menginginkan semua ini kembali seperti dulu, kita berjalan dan kamu menggenggam tanganku, berdiri di eskalator dan kamu bersandar di lenganku atau merangkul bahuku ketika aku merajuk kalah debat denganmu. Pun saat ini aku masih berharap itu terjadi lagi atau setidaknya kamu menggenggam tanganku lagi ketika kita sudah sampai di depan pagar rumahku. Sudah sekian pertemuan sejak Selasa itu tapi tak juga terjadi, lumayan kecewa tapi tak apa. Tertawa bersamamu cukup membuatku kembali bahagia. Mungkin lain kali.

Seakan sudah menjadi kebiasaan kita memilih kopi untuk menutup malam dari pembahasan-pembahasan kita soal kekonyolan di internet, video lucu, gosip kantor bahkan hidup dan keluarga kita. Tapi malam itu entah bagaimana kepalaku hanya menangkap satu nama, nama yang begitu cantik dengan cerita-cerita darimu dengan nada yang tak pernah kudengar sebelumnya, nada yang rasanya selalu kugunakan ketika keceritakan tentangmu pada teman-temanku. Aku menggodamu, menertawakan jawabanmu seakan gelak ini bisa menghilangkan sesak di dada.

Malam itu sesampainya di depan rumahku, kali pertama kamu bilang akan menghubungi jika sudah sampai kosan padahal biasanya aku yang selalu rewel minta dikabari. Aku mengernyit keheranan dan bilang hati-hati di jalan. Kamu bilang terima kasih sambil tertawa, aku juga.

Kutunggu pandangan mobilmu menghilang, aku menutup pagar meski akhirnya terduduk tepat setelah kukaitkan handle penguncinya. Sesak yang tadi masih ada bahkan kaki ikut-ikutan lemas tak kuat menahan gemetar lututku, aku menangis. Tak apa, aku hanya kaget terjatuh saat menutup pagar. Hari-hari yang kuhabiskan bersamamu masih selalu menyenangkan hingga saat ini.

0 comments