Dinding

Aku paham betul, kamupun tak pernah memintaku barang sekali untuk merobohkan dinding sialan ini. Tapi suaramu yang lantang tiap kali memanggil namaku, dentuman dari tiap pukulanmu yang menggetarkan debu dari atas sana atau kerikil-kerikil yang kau lempar hingga menghujani kepalaku itu begitu tak bisa kuabaikan begitu saja. Belum lagi lubang kecil yang berhasil kau keruk berhari-hari dengan telunjukmu sepanjang percakapan-percakapan kita kala itu, pakai alasan saja ingin aku melihat jaket barumu.

Aku paham betul, lubang kecil itu tak lebih dari hasil kurang kerjaanmu sepanjang pembicaraan-pembicaraan kita. Tapi dari lubang itu, setitik cahaya memasuki ruangku. Awalnya aku mulai bisa melihat ujung-ujung jemariku, lalu bertambahnya jumlah dan diameternya semakin membuatku bisa melihat langit lagi; kebiasaanku pun berganti. Dulu aku bisa saja hanya bersandar sepanjang mendengarmu bercerita, mungkin sesekali berpindah posisi entah kanan-kiri atau kepala yang hampir sedekat ibu jari kaki, tapi hari ini entah mengapa langit yang tak seberapa luas kupandang ini begitu menenangkan dengan suaramu yang menjadi latar belakang.

Aku paham betul, bisa melihat langit lagi dan menemukan diriku kembali adalah satu hal yang harusnya mencukupkan aku. Aku begitu menyukai langit dan segala penghuninya, juga diriku yang sudah lama tak kusukai keberadaannya. Tapi tiba-tiba aku ingin melihat langit lebih luas lagi, aku ingin melihat sepatumu atau mungkin jaket-jaket barumu yang lain, aku ingin melihat matamu kala bercerita atau mungkin mendengarmu bernyanyi jika kamu tak lelah.

Aku paham betul, ketika akhirnya kamu bilang andai dinding ini tak ada atau mungkin lebih rendah lagi pagi itu kala bunga matahari sedang tinggi-tingginya di sana atau ketika hujan sore itu yang biasnya melahirkan pelangi, adalah kebingungan terbesarku sepanjang hari-hari kita. Hari itu aku aku memutuskan untuk menghancurkan dinding yang susah payah kubangun bersiap meninggalkan kegelapan paling nyaman.

Aku masih ingat bagaimana senyummu menyambutku hari itu, meski akhirnya aku hanya bisa memicingkan mata karena silaunya; entah karena senyummu atau langit yang terasa begitu luar biasa biru.

Aku masih ingat bagaimana kali pertama kulihat air matamu menetes, andai tak kamu pukul dinding malam itu aku juga tak akan pernah tau kamu tengah terisak ketika cerita dinding ini akhirnya sampai padamu, kamu bilang kamu paham betul mengapa akhirnya aku membangun ini semua namun aku hanya tak begitu paham mengapa kini kamulah alasanku membangun dinding ini kembali.

0 comments