21 Jam 30 Menit: Part II

Untukmu, lelaki pertama yang membawa perihal mie ayam dalam perkenalan kita.
Sepenting itu kah mie ayam dalam hidupmu sehingga pesan singkat kau luncurkan dari Solo kepadaku yang berada di pelosok desa yang entah dimana aku bahkan sudah lupa saat itu, untuk sekedar menanyakan apakah mie ayamnya enak? Jika kuingat sekarang, mulia sekali mie ayam itu.

Butuh sekian hari hingga hitungan bulan untuk kita akhirnya bertemu. November 2012. Aku mengingatnya betul. Hujan yang mengguyur Jogja sore itu sedikit meruntuhkan harapanku bertemu denganmu. Bertemu lelaki yang membuatku bebas bercerita tanpa harus menjadi orang lain, yang membuatku ketagihan untuk membaca pesannya meski itu hanya rasa kecewanya melihat warteg tanpa mbak penjual yang biasanya. Aku menyukainya. Sungguh.

Kamu sudah di depan pintu kamarku tak lama setelah menutup telepon, mengabari jika kedatanganmu sudah disambut hujan. Kamu setengah kuyup dengan tentengan beberapa tas yang ku tahu itu sepasang sepatu kesayanganmu. Tak ada kalimat perkenalan resmi pada umumnya, seakan sudah saling mengenal, kupersilahkan kau membersihkan diri.

Aku tak menyukai orang yang terang-terangan mengetahui aku menyembunyikan sesuatu, menyembunyikan perasaanku. Juga dia yang menyempatkan menaruh telapak tangannya di keningku sebelum masuk kamar mandi. Dia bilang aku demam. Sial, ketahuan.
Di depannya, juga di setiap harinya bertukar pesan, aku tak pernah bisa membohonginya.
Aku membencinya.

Tapi bagaimana aku membencinya di awal pertemuan ini sementara sejak sore itu, tanganku tak pernah ia biarkan melenggang sendirian. Bagaimana aku membencinya sementara tangannya tak berhenti memeriksa panas di keningku? Aku juga tak sekuat itu menahan debar yang iramanya tak bisa kunikmati sambil menari. Tanpa meminta persetujuanmu, aku diam-diam menyiangi harap ini sendiri.

Apa kabarmu?
Karena sejak batalnya rencana pertemuan kita yang terakhir, sudah tak kubaca pesanmu lagi. Akupun sudah sibuk sendiri memangkas harap yang sudah terlanjur tumbuh rimbun. Kamu lelaki yang tak pernah terlihat marah, setidaknya aku melihatnya begitu. Yang kuingat marahmu hanya ketika sekali kupanggil “good boy” yang menurutmu itu kurang pantas disebutkan. Bahkan saat hari terakhirku di Jogja yang hanya menutupnya dengan tangis pun kamu tak marah. Justru kamu yang sibuk memeluk dan mengusap pipiku. Dengan memangkas semua rimbunan yang kusiangi ini dan mulai menagaburkanmu, semoga kau tak marah. Dan sepertinya bahkan tidak.

Namun hari ini kuputuskan memangkas habis apa yang aku tanam diam-diam dulu. Bukan mematikanmu, tapi akan kutanam harap yang baru. Bukan melupakanmu, tapi memindahmu dari jalan utamaku.
Aku menyukaimu hingga kini. Terlebih saat mendengarmu bercerita.
Aku bahkan merindukan diriku sendiri saat berada di dekatmu, saat aku bisa berhenti berbohong tentang perasaanku.


Bahkan nanti jika kita benar-benar tak lagi bisa menggaungkan sapa, kuingin kamu tau jika memang masih ada aku yang kau ingat dalam setiap hari terberatmu, aku akan tetap menjadi seperti itu. Datanglah, karena aku masih akan membuka pintu seperti dulu. Selalu.

0 comments