Untukmu, lelaki pertama yang membawa perihal mie ayam
dalam perkenalan kita.
Sepenting itu kah mie ayam dalam hidupmu sehingga pesan
singkat kau luncurkan dari Solo kepadaku yang berada di pelosok desa yang entah
dimana aku bahkan sudah lupa saat itu, untuk sekedar menanyakan apakah mie
ayamnya enak? Jika kuingat sekarang, mulia sekali mie ayam itu.
Butuh sekian hari hingga hitungan bulan untuk kita
akhirnya bertemu. November 2012. Aku mengingatnya betul. Hujan yang mengguyur
Jogja sore itu sedikit meruntuhkan harapanku bertemu denganmu. Bertemu lelaki
yang membuatku bebas bercerita tanpa harus menjadi orang lain, yang membuatku
ketagihan untuk membaca pesannya meski itu hanya rasa kecewanya melihat warteg
tanpa mbak penjual yang biasanya. Aku menyukainya. Sungguh.
Kamu sudah di depan pintu kamarku tak lama setelah
menutup telepon, mengabari jika kedatanganmu sudah disambut hujan. Kamu
setengah kuyup dengan tentengan beberapa tas yang ku tahu itu sepasang sepatu
kesayanganmu. Tak ada kalimat perkenalan resmi pada umumnya, seakan sudah
saling mengenal, kupersilahkan kau membersihkan diri.
Aku tak menyukai orang yang terang-terangan mengetahui
aku menyembunyikan sesuatu, menyembunyikan perasaanku. Juga dia yang
menyempatkan menaruh telapak tangannya di keningku sebelum masuk kamar mandi. Dia
bilang aku demam. Sial, ketahuan.
Di depannya, juga di setiap harinya bertukar pesan, aku
tak pernah bisa membohonginya.
Aku membencinya.
Tapi bagaimana aku membencinya di awal pertemuan ini
sementara sejak sore itu, tanganku tak pernah ia biarkan melenggang sendirian.
Bagaimana aku membencinya sementara tangannya tak berhenti memeriksa panas di
keningku? Aku juga tak sekuat itu menahan debar yang iramanya tak bisa
kunikmati sambil menari. Tanpa meminta persetujuanmu, aku diam-diam menyiangi
harap ini sendiri.
Apa kabarmu?
Karena sejak batalnya rencana pertemuan kita yang
terakhir, sudah tak kubaca pesanmu lagi. Akupun sudah sibuk sendiri memangkas
harap yang sudah terlanjur tumbuh rimbun. Kamu lelaki yang tak pernah terlihat
marah, setidaknya aku melihatnya begitu. Yang kuingat marahmu hanya ketika sekali kupanggil “good boy” yang menurutmu itu kurang pantas disebutkan. Bahkan saat
hari terakhirku di Jogja yang hanya menutupnya dengan tangis pun kamu tak
marah. Justru kamu yang sibuk memeluk dan mengusap pipiku. Dengan memangkas
semua rimbunan yang kusiangi ini dan mulai menagaburkanmu, semoga kau tak
marah. Dan sepertinya bahkan tidak.
Namun hari ini kuputuskan memangkas habis apa yang aku
tanam diam-diam dulu. Bukan mematikanmu, tapi akan kutanam harap yang baru.
Bukan melupakanmu, tapi memindahmu dari jalan utamaku.
Aku menyukaimu hingga kini. Terlebih saat mendengarmu
bercerita.
Aku bahkan merindukan diriku sendiri saat berada di
dekatmu, saat aku bisa berhenti berbohong tentang perasaanku.
Bahkan nanti jika kita benar-benar tak lagi bisa
menggaungkan sapa, kuingin kamu tau jika memang masih ada aku yang kau ingat dalam
setiap hari terberatmu, aku akan tetap menjadi seperti itu. Datanglah, karena
aku masih akan membuka pintu seperti dulu. Selalu.

0 comments