Akankah Masih Ada Bulan Depan?

Pagi masih saja dingin, sementara embun masih penuh harap pada tulang daun yang tak punya kuasa atas dirinya untuk tinggal. Angin berhembus ringan tanpa menggerakkan dedaunan, hanya meninggalkan dingin yang menggigil. Suling teko pemanas air sudah nyaring bersamaan dengan gerak kepalamu mencari posisi nyaman di bantal putih itu. Aku tersenyum, merapatkan selimutmu dan menuju dapur.
Asap dari mulut teko yang terus mengepul hingga memberi warna putih tebal dan menghilang di jarak sepuluh senti itu menyita perhatianku. Menggebu dan hilang sekejap mata. Ah, sudahlah.

Deretan cangkir masih memenuhi rak kecil di dalam laci dapur, bergoyang dan menimbulkan denting ketika kutarik. Perlahan kudorong laci masuk ke lorongnya. Membuka toples kopi adalah favoritku tiap pagi dan menghirup aromanya dalam-dalam adalah double favorit selanjutnya. Ada keheningan ketika tuas kompor kugerakkan mematikan nyala api. Dan harum kopi mulai menjalari seluruh sudut dapur.

Sambil mengaduk kopi, aku melihat diriku dari ujung kaki ke ujung jemari tanganku. Lalu aku tertawa sendiri sambil menggulung lengannya lebih tinggi lagi. Bagaimana ia masih menggunakan kemeja usang ini sih? Aku menggelengkan kepala dan mengambil dua gelas kosong, satu untuk air putih dan satu untuk jus jeruk yang biasa dia minum setiap pagi.

Aku menaiki tangga dengan hati-hati, selain karena membawa satu cangkir kopi panas, satu gelas air putih dan jus jeruk, aku juga tak ingin membangunkan dia yang masih terlelap. Benar saja, dia masih meringkuk di bawah selimut tebalnya. Langit masih mendung terhitung gelap untuk jam tujuh pagi. Aku membuka jendela tanpa takut sinar matahari membangunkannya, dingin yang masuk pasti membuatnya merapatkan selimutnya lagi.

Aku terdiam duduk di jendela dan menyesap kopiku. Melihat kolam ikan kecilku yang mencetak bulatan sempurna di atas air, pertanda gerimis masih turun. Kuletakkan cangkir kopiku dan melipat kaki hingga kedua lututku menopang dagu, karena tak nyaman, kuletakkan lengan kananku dan membuat pipi kananku bertopang padanya. Sedang tangan kiriku sibuk menggapai titik air yang jatuh dari pinggiran atap dan memainkan air di tangan. Ada sedikit perih di lengan kiri ku ketika air perlahan mengalir dari tanganku. Lain kali aku harus memaksanya memotong kuku sebelum nanti badanku penuh cakarannya.

“Apa aku mencakarmu lagi?”, tanyanya dengan suara bantal.

Ah, dia terbangun rupanya.

Dia beranjak dari tempat tidur dan menghampiriku. Mendaratkan sebuah kecupan di kening yang lambat dan mengecup bibirku sambil mengucapkan selamat pagi. Aku menaikkan kedua tanganku seolah memberi isyarat minta digendong, dia tersenyum dan menghabiskan segelas air putih. Lalu menggeleng dan mengatakan beratku sudah tak ringan lagi. Aku melengos seolah ngembek. Bagaimana badan atletis begitu payah dalam menggendong perempuannya? Huh.

Gerimis yang berubah menjadi hujan membuatku beranjak dari jendela dan menutupnya agar tampiasnya tak membasahi lantai kamarku. Dari belakang ia sudah menyerang leherku dan menciuminya dengan hebat. Aku mengelak seolah ngambek karena tak digendong tadi. Dia diam sejenak dan memasang ekspresi berpikir sambil menatap mataku. Ekspresi yang selalu menjadi favoritku. Digendongnya aku dengan sigap keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju sofa ruang tengah. Suhu dingin yang mungkin 16 derajat celcius  karena hujan di luar sana tak terasa lagi dengan 37 derajat celcius  kami berdua.

Di sofa biru tua yang tak terlalu lebar ini membuat dia memiringkan badannya demi aku agar bisa tidur di lengan kirinya. Sambil menikmati dingin yang perlahan menjalar lagi, kita berbicara tentang gedung pernikahan kami bulan depan. Undangan yang sudah siap disebar, baju pengantin dan keluarga sudah fitting, catering hingga akomodasi keluarga dari luar kota. Karena kesalahan staff gedung, kami harus mencari gedung lagi untuk pernikahan kami. Yang benar saja.

Kami tinggal dalam kota yang berbeda karena pekerjaan. Sebulan sekali dia pasti mengunjungiku, kalau beruntung bisa dua kali. Itulah sebabnya kami harus pintar-pintar mengatur waktu berdua. Aturan darinya untuk mematikan gadget saat bersama kurasa memang tepat. Jatah tangannya di gadget dan berkas kerjanya saat bekerja harus sebanding dengan tangannya di tubuhku atau lebih. Aku juga tak mau kalah. Hehe.

Dia bilang handphone-nya habis batere dan tertinggal di mobil saat kutanyakan dimana handphone-nya karena dari semalam aku tak melihatnya mengluarkan handphonenya sama sekali. Kami masih berbaring dan berbicara banyak hal. Mendung membuat tak terasa Sabtu ini sudang merangkak tengah hari. Sambil menyeretnya ke kamar mandi agar dia mandi malah aku aku kerepotan melepaskan diri agar tak terlibat bersama di dalam sana. Sambil setengah berlari kudengar ia memintaku mengambilkan handphone dan laptop yang masih di dalam mobil.

Kemeja usangnya masih kukenakan dan membuka pintu agar dingin memenuhi setiap sudut rumahku. Hujan tak lagi deras tapi rintik gerimis masih jelas terlihat. Jalanan depan rumah tak begitu ramai karena rumah ku ini terhitung paling ujung. Hanya terdengar suara Pillo, anjing kecil milik rumah depan. Bau hujan yang selalu menyenangkan membuatku ingin berlama-lama menatap gerimis di tanah basah  yang ciprat tanahnya menimbulkan bercak di lantai teras.

Aku setengah berlari menuju mobilnya dan terduduk di jok belakang sambil mengelap rambut dan kemeja yang sedikit basah karena gerimis. Setelah menemukan tas laptop dan beberapa map kerjanya, aku mencari handphone yang tersudut di pinggiran jok kemudi. Menghargai privacy masing-masing adalah aturan hubungan kami termasuk isi handphone kami. Mendengar getar handphone sontak membuatku meraihnya. Sebuah panggilan masuk dari Ms. Dilla dan berakhir sendirinya di tanganku. Sebuah notifikasi otomatis muncul 15 Missed Call. Handphone ini jauh dari habis batere.
Tapi konfirmasi ‘Shut Down’ yang dibiarkan, jelas jika handphone ini akan dimatikan tapi belum turn off karen belum ada konfirmasi persetujuan dari penggunanya.

Mungkin dia lupa.

Antara tak sengaja terbaca dan muncul pemikiran barangkali isinya penting, mengingatkan nama ini berulang kali mencoba menghubunginya, aku akan membacanya dan menyampaikannya nanti.


“Kak Bayu, Dilla belum mens bulan ini”.

2 comments

  1. waaah nonjok banget endingnya tuh
    padahal bulan depan udah persiapan buat nikah, bikin greget tuh --"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, entah kenapa pengen nulis ginian --"

      Hapus