Taksi Itu
![]() |
| pic. by google |
Aku meninggalkan ice blended kesukaanku utuh di meja
coffee shop bersamanya. Kutinggalkan tanpa sedikitpun tergoda melihatnya barang
sekilas kejap mata. Seakan berjalan melintas meja demi meja menuju pintu keluar
yang rasanya hanya satu hela napas, aku berhasil meninggalkannya tertunduk
sedari awal pembicaraan kami malam itu. Tak kudengar namaku di belakang sana,
tak ada derap langkah yang cepat menujuku. Dia membiarkanku, meninggalkannya.
Tak ada yang lebih menjengkelkan dari hujan di saat
seperti ini. Seperti sudah bersiap menari saat duka siap mengisi hari
seseorang. Yang ada di kepalaku malam itu hanya bagaimana aku keluar dari hujan
dan jalanan ini, secepatnya. Sebelum ia berubah pikiran dan sebelum aku goyah
untuk kembali menyimpan duka. Ya, malam ini aku siap berduka.
Sebuah taksi menepi dengan bapak tua yang menurunkan
jendelanya menawarkan jasanya, aku mengangguk. Kuminta tiga menit untuk tak
melajukan taksinya, sementara aku menoleh ke arah coffee shop tempat ice
blended kesukaanku dan berharap lelaki itu keluar dan mencariku. Ia keluar, aku
menangis. Dari balik kaca berembun ini, aku melihatnya berlari seakan mencari
seseorang. Aku bisa menyimpulkan dia mencariku bukan?
Dia berlari dan akhirnya bersandar di bawah pohon
tempatku berdiri tadi, isakku semakin jadi. Bapak taksi menoleh dan
mempersilahkanku membatalkan penggunaan taksinya karena melihatku yang enggan
pergi. Aku menggeleng dan mengatakan jika aku hanya ingin melihat wajahnya
terakhir kali. Lalu taksi melaju dengan pertanyaan si bapak yang terus
kuacuhkan.
“Mau kemana ini, non?”, tanyanya berulang kali sedang mataku
hanya tertuju pada bulir air hujan yang mengalir di jendela sampingku.
“Kemana aja pak, menyetir saja dulu”, jawabku.
Bapak taksi membingungkan mengapa cuaca tiba-tiba saja
hujan sementara senja masih sebulat telor asin sore tadi. Lalu ia mematahkan
kebingungannya sendiri dengan rasa percayanya pada Tuhan yang memiliki segala
cuaca. Sesederhana itu. Sama seperti saat ini, bagaimana lancarnya hari yang dia jalani akan ditutup oleh satu penumpang cengeng yang tak tahu kemana tujuannya. Sesederahana itu. Aku mendengarkan semua ceritanya setelah perihal cuaca
tadi, dari istrinya yang demam Shehrazat, anaknya yang mulai berani pacaran
sampai mula perjalanan hidupnya. Aku terus mendengarkan dengan mata menatap jalanan
dan sesekali beradu pandang pada kaca spion di atas dashbor-nya.
Ada kala si bapak terdiam saat mendengar isakku yang sesekali
itu dan menanyakan kemana taksi ini akan berhenti dan atau si bapak juga sebenarnya ingin
segera pulang dan istirahat. Tapi entahlah kepala ini masih ingin berada dalam
kekosongan yang banyaknya air mata tak akan bisa mengisinya juga.
“Saya harus kemana, pak?”, tanyaku datar.
“Pulang. Bersihkan badan, berpakaian yang tebal dan
istirahat”, jawabnya sambil tersenyum di
spion depan.
“Bapak sudah ingin pulang ya?”, tanyaku dengan suara
bergetar.
“Bagaimana saya pulang jika penumpang saya masih ada
dalam taksi dan belum sampai tujuan. Saya selalu ingin pulang kok, tapi saya
tahu kapan saya harus pulang”, jawabnya sambil membelokkan kemudi.
“Saya justru belum ingin pulang pak. Bagaimana kalau saya
melakukan hal bodoh saat sendiri nanti? Atau bagaimana kalau saya malah terus
menangis?”, jawabku.
Derak wipers terus berjalan pertanda hujan masih ada dan
si bapak sibuk di belakang kemudi tanpa menjawabku lagi. Lampu-lampu rem mobil di depan sana semakin
memudar seperti efek bokeh, warna-warni dengan background gelap malam. Aku
membuang pandangku pada jendela sampingku lagi, mengamati jalanan dan bulir air
yang terus turun.
Bagaimana rasa rindu terus datang di hari saat kita
berpisah? Dan bagaimana kamu bisa membiarkanku pergi meninggalkanmu dan
membuatku memilih berduka pada hubungan yang begitu indah ini? Bukankan kita
sudah mempersiapkan gedung pernikahan, jumlah undangan dan segala macam
kebutuhan pernikahan? Bagaimana aku bisa lebih memilih berduka di atas semua
itu? Dan bagaimana kamu bisa membiarkankanku?
Taksi terus melaju hingga kini lepas dari deretan
kemacetan tengah kota, wiper hanya sesekali bergerak, malam semakin gelap dan
hati semakin kalut. Aku hanya ingin duduk dan membiarkan kemudi taksi ini
membawaku entah kemana karena jika aku turun pun, ini masih jauh dari rumah.
“Pulang itu tidak hanya rumah. Bisa jadi perkara hati
juga. Sempat saya tawarkan tadi untuk turun tapi non lebih memilih berdiam dan
akhirnya melaju di dalam taksi saya. Boleh saya asumsikan, non yang memang
ingin pergi. Jika sudah pergi dari satu tempat, sempatkan pulang. Menata rumah
yang berantakan yang lama ditinggal, menata hati yang berantakan saat
memutuskan pergi yang hanya membawa luka, istirahat dan sembuhkan lukanya bukan
malah merawatnya. Senyaman apapun tempat yang pernah dianggap rumah, itu tak pernah
benar-benar membuat itu menjadi rumah sendiri. Orang berduka itu tak apa
menangis, lah wong rasanya memang sakit.
Ndak apa”, kata si bapak tiba-tiba.
Seketika kusebutkan alamat rumah, si bapak tersenyum dan
membelokkan kemudinya.
Ada sedikit hal yang kembali pada kepala kosongku sejak
tadi, pulang. Selama ini kubangun sendiri rasa nyaman di tempat asing yang
kunamai rumah tanpa permisi. Aku akan pulang, menata rasa nyaman yang lama aku
acuhkan, menyembuhkan luka sambil berduka. Mungkin aku akan sering menangis
hari-hari ke depan, sambil memungut bingkai-bingkai kebahagian yang pernah kami
buat. Atau menata letak kursi di teras belakang yang biasa kami tempati
menghabiskan akhir pekan sambil membaca buku, dipindah atau mungkin akan
kuganti yang baru. Aku akan sibuk hari-hari ke depan. Membatalkan semua
persiapan pernikahan hingga sibuk mengumpulkan keberanian di depan para
keluarga. Sibuk menjawab dan kemudian menangis kehabisan kata-kata. Kupikirkan
lagi tentang kesibukanku nanti, saat ini aku hanya berharap pada perjalanan
menembus hujan ini bisa melupakannya
Jika cuaca saja bisa berubah sedemikian mudahnya,
bukankah hal mudah bagi Tuhan untuk membalikkan perasaan yang dimiliki umatnya?
Ah, aku mendadak religius.
Lampu taman rumah ku sudah terlihat dari jauh, aku
mengusap mata dan membetulkan posisi dudukku. Perlahan taksi melambat dan si
bapak mengingatkan agar tidak ada barang yang tertinggal. Aku berterima kasih
karena si bapak menunda rasa inginnya untuk pulang dan bertemu dengan
keluarganya. Mungkin menurutnya aku ini penumpang menyebalkan, menangis
sepanjang perjalanan dan tak tau kemana ia ingin pergi atau mungkin aku ini penumpang
pertamanya yang sedikit gila? Namun si bapak hanya tersenyum dan menggeleng.
Taksi berhenti tepat di depan pagar rumahku dan secepat
kilat si bapak menoleh ke arahku kebingungan karena aku kembali menangis.
Bukankah dua jam yang lalu wanita gila ini sudah tau keinginannya dan memutuskan
pulang? Lalu kenapa ia menangis lagi? Mungkin itu rentetan pertanyaan dalam
hati beliau.
“Argo taksinya bikin saya sedih pak”, ucapku sambil
menangis yang berusaha tertawa.
Dan si bapak hanya tertawa dan menggeleng saja.


0 comments