Kirab Budaya: Raden Sawunggaling

Sudah dua puluh lima tahun saya menetep di desa ini, Lidah Wetan. Tapi baru sekitar setahunan ini sejak Kirab Budaya Raden Sawunggaling tahun 2014 lalu, saya jadi tertarik dan sering mencari referensi sejarahnya.

Sejak saya kecil sudah begitu akrab sama makam Mbah Buyut Suruh di belakang Masjid Al-Kubro itu, sekedar tahu ada makam di sana dan yang merasa itu angker, namanya juga pemikiran bocah. Seingat saya pun hanya sekali masuk ke area makam, itupun diam-diam pas maen di belakang masjid hehe. Jadi ada beberapa lima makam gitu dan banyak kelambu kain putih yang menjuntai, makam siapa aja di sana itu baru saya mengerti akhir-akhir ini. Iya, sebagai warga Lidah Wetan aku merasa tidak gaul.

Legenda yang selama ini saya dengar dari orang tua atau cerita yang mengalir dari orang-orang selama ini ternyata bukan satu-satunya cerita karena ternyata masih ada versi lain dari warga Wiyung dan buku sejarah tentang Raden Sawunggaling ini. Dan dari berbagai versi ini terdapat perbedaan cerita. Saya cerita yang selama ini sudah cerna sejak kecil ya.

Cerita yang saya baca yang katanya dari versi Lidah Wetan adalah dulu, Lidah Wetan ini bernama Desa (Lidah) Donowati. Bagaimana perubahan namanya menjadi Lidah Wetan, saya skip ya.

Di kompleks makam Sawunggaling tersebut ada lima makam.
1.       Makam Raden Sawunggaling
2.       Makam kakeknya, Wangsadrana atau  Raden Karyosentono
3.       Makam neneknya, Mbah Buyut Suruh
4.       Makam ibunya, Raden Ayu Dewi Sangkrah
5.       Makam Raden Ayu Pandansari. Siapa Raden Ayu Pandansari ini? Nanti saya ceritakan.

Jika mengikuti sejarahnya Kota Surabaya bisa terbentuk, ada peran Adipati Jayengrono yang pusat pemerintahannya ada di kira-kira Kramat Gantung dan Bubutan. Dahulu kala, saat Raden Jayengrono ini istilahnya melakukan perjalanan dinas ke Lidah Donowati, beliau tertarik dengan anak Kepala Desa Lidah Donowati (Raden Karyosentono), Raden Rara Blengoh. Sebetulnya, Raden Rara Blengoh ini adalah anak angkat dari Raden Karyosentono dan Mbah Buyut Suruh. Raden Rara Blengoh ini sendiri sebenarnya adalah putri keraton Jogjakarta yang berkunjung ke Surabaya dan tersesat di Desa Lidah Donowati dan diangkat menjadi anak oleh keluarga Kepala Desa.

Lalu hingga akhirnya mereka menikah ‘diam-diam’ atau dirahasiakan dari keluarga keraton Raden Jayengrono. Pesta pernikahan mereka sederhana dan serahasia mungkin mengingat Raden Jayengrono ini sudah mempunya keluarga. Setelah dinikahi dan menjadi istri Raden Jayengrono, Raden Rara Blengoh mendapat gelar Raden Ayu Dewi Sangkrah. Dari pernikahan mereka, lahir seorang anak yang dinamai Jaka Berek dan mendapat gelar Raden Mas Sawunggaling.

Raden Jayengrono meminta Raden Ayu Dewi Sangkrah untuk membesarkan Raden Mas Sawunggaling tanpa sepengetahuan keluarga Keraton, dan kelak nanti jika sudah besar ia boleh menemuinya di keraton dengan menunjukkan sebuah selendang darinya, Cinde.

Sejak kecil, Raden Mas Sawunggaling sudah tidak pernah dikunjungi oleh Raden Jayengrono dan melewati masa kecil yang terbilang berat karena sering diolok teman-temannya karena tidak punya bapak hingga dikucilkan tidak diajak bermain. Hingga akhirnya ibunya, Raden Ayu Dewi Sangkrah, memutuskan menikah lagi dan mempunyai dua orang anak yang dinamai Sawungrono dan Sawungsari.

Hingga akhirnya Raden Mas Sawunggaling beranjak dewasa, ia ditemani sang kakek menuju keraton, yang kira-kira sekarang ada di daerah Cak Durasim, untuk mencari ayahnya. Dengan kekuatannya ia babad alas atau membuka jalan yang dipenuhi hutan rawa untuk sampai di keraton. Konon, cerita dari orang-orang tua dulu, usaha ini tidak lepas dari hal magis dari Raden Ayu Pandansari yang katanya perempuan jadi-jadian. Hehehehe.

Setelah sampai di keraton, Raden Karyosentono dan Raden Mas Sawunggaling diterima oleh Raden Jayengrono. Setelah memberikan cinde  dari ibunya, Raden Jayengrono mengenali Raden Mas Sawunggaling dan memeluknya. Dan sejak saat itu, Raden Mas Sawunggaling diberi tugas sebagai pendamping adipati, Tumenggung.

Namun, versi cerita yang saya asup dari kecil adalah berikut ini,

Cerita singkatnya, dulu saat masih dibawah perintah Belanda, Tumenggung Jayengrono ini tidak mau bersekutu dengan Belanda lalu memilih bersemedi di hutan Wiyung untuk mendapat kesaktian mengalahkan Belanda. Dalam semedinya, ia berubah wujud menjadi pohon bambu. Di tengah persemediannya, ada Raden Ayu Dewi Sangkrah yang selalu mencuci baju dan mandi di rawa dekat persemedian Jayengrono dan meletakkan bajunya di bambu yang diyakini wujud Jayengrono. Hingga akhirnya semedinya gagal karena kecantikan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Di balik gagalnya semedi, Jayengrono mendapat wangsit jika kekuatan yang didapat dari semedi kelak akan ada pada bayi yang dikandung perempuan yang meletakkan bajunya di bambu, dan lalu akhirnya mereka menikah dan memiliki anak yang dinamai Jaka Berek.

Di masa remaja Jaka Berek ia sering diejek tidak punya bapak dan akhirnya memaksa ibunya untuk memberitahu siapa bapaknya. Setelah Raden ayu Dewi Sangkrah menceritakan kisah hidupnya, Jaka Berek berangkat mencari bapaknya, Jayengrono, ditemani Bagong ayam kesayangannya.

Setelah sampai di Surabaya, Jaka Berek mengaku anak Jayengrono tetapi tidak ada yang mempercayainya,  termasuk dua anak Jayengrono Sawungrono dan Sawungsari. Melihat Jaka Berek membawa ayam, Sawungrono dan Sawungsari mengajaknya sabung ayam. Jika ia menang, ia dipersilahkan masuk dan jika ia kalah, ia harus kembali ke Lidah Donowati.
Konon, si Bagong menang, namun akal licik Sawungrono dan Sawungsari untuk menghalangi Jaka Berek masuk mencari bapaknya malah membawa lari si Bagong dan bersembuyi dibalik Jayengrono. Cemen. Haha.

Setelah memperkenalkan diri dan menunjukkan cinde dari ibunya, Jaka Berek tidak juga dipercayai Jayengrono hingga memberinya tugas memandikan 44 kuda ternaknya tanpa boleh ada bulu yang rontok atau lecet sedikitpun di badannya.

Diceritakan, Jayengrono ini tidak mau bersekutu dengan Belanda sehingga Belanda bersekutu dengan Adipati Jawa Tengah untuk melengserkan Jayengrono dari Tumenggung Surabaya untuk membuat lomba memanah cinde puspita yang hadiahnya adalah menjadi Tumenggung Surabaya. Cakraningrat yang juga teman Jayengrono, ditunjuk Belanda menjadi penyelenggara lomba memanah setuju karena yakin jika Sawungrono dan Sawungsari akan berhasil memenangkan lomba dan tahta Tumenggung masih akan dipegang oleh Jayengrono. Namun berhari-hari tidak satupun ksatria yang memenangkan lomba tersebut termasuk Sawungrono san Sawungsari, hingga akhirnya Jaka Berek mengajukan diri mengikuti lomba. Meskipun pada awalnya ditolak oleh Cakraningrat karena ia tidak percaya Jaka Berek adalah darah biru apalagi anak Jayengrono.

Perdebatan ini didengar Jayengrono dan akhirnya ia mengakui pada Cakraningrat jika Jaka Berek adalah anaknya dan meminta agar Jaka Berek diperbolehkan mengikuti lomba memanah. Sebelum akhirnya Jaka Berek mengikuti perlombaan, Jaka Berek meminta waktu untuk melakukan suluk  atau semacam doa kepada leluhur (?) agar bisa memanah cinde puspita.

Hingga akhirnya Jaka Berek berhasil memanah cinde puspita, Belanda dan Sawungrono berusaha menggagalkan Jaka Berek menjadi Tumenggung Surabaya dengan menambah syarat untuk babad alas Nambas Kelingan yang terkenal angker. Namun, Jaka Berek menyetujuinya dan segera berangkat ke hutan Nambas Kelingan.

Luasnya hutan dan banyaknya makhluk ghaib di sana membuat pekerjaan Jaka Berek tidak juga selesai, hingga akhirnya ia bertemu Ayu Pandansari jin penunggu yang menawarkan bantuan dengan imbalan ingin dinikahi Jaka Berek. Seketika Jaka Berek menolak karena perbedaan alam mereka. Tapi ditengah rasa putus asa-nya, Jaka Berek akhirnya menyetujui permintaan Ayu Pandansari dan seketika hutan Nambas Kelingan  hanya bersisa tanah lapang.

Lalu bagaimana kisah Jaka Berek dan Raden Ayu Pandansari setelah itu, saya tidak pernah mendengar lagi tapi diyakini warga Lidah Wetan jika Raden Sawunggaling tidah menikah selama hidupnya. Dan tentu hal ini terdapat perbedaan versi ceritanya. Dan jika ada yang menyakan bagaimana makhluk ghaib seperti Raden Ayu Pandansari mempunyai makam, saya juga belum mengetahuinya hehehehehehehe

*iya saya masih kurang banyak baca sejarah*

Cerita di atas adalah cerita yang saya dengar sejak kecil, dari orang-orang tua ke anak dan cucunya, sebuah legenda. Dan bahkan masih ada versi lagi yang belum saya tuliskan di atas, versi warga Wiyung dan buku sejarah.

Hingga sekarang, kompleks makam keluarga Raden Sawunggaling di Lidah Wetan masih dijaga dengan baik, lebih baik lagi malah dibanding saat saya kecil dulu. Bahkan rutin ada semacam gelar doa di sekitar area makam untuk mengenang keluarga Raden Sawunggaling hingga acara Kirab Budaya Raden Sawunggaling seperti Minggu lalu, 30 Agustus 2015.


Kirab Budaya ini diikuti oleh semua lapisan masyarakat dengan berbusana a la tempo dulu atau arak-arakan kreatif dari warga sendiri. Ada yang membuat gunungan hasil bumi, manten jawa, noni belanda, pasukan perang sampai anak-anak kecil bebusana adat. 












Dan bahkan...
ROMBONGAN BONEK MASAAAAAA :))))


Setelah jalan hingga ke Kelurahan Lidah Wetan ada banyak acara yang disuguhkan. Dibuka oleh pembawa acara dari perwakilan Cak Ning Surabaya, iya arak-arakan tadi ada juga rombongan finalis Cak Ning Surabaya, acara dimulai dari aksi treatikal Jaka Berek mengikuti lomba memanah, tarian Dewi Sangkrah, Treatrikal Jaka Berek dikucilkan teman-temannya saat bermain dengan berbagai macam jenis permainan daerah, tarian Remo, pertunjukan Reog hingga pembagian doorprise. Yay!

pic by instagram angg***garcia

Sebagai penutup Kirab budaya ini, hari Kamis nanti, 3 September 2015 juga ada pertunjukan Wayang Kulit yang diakan di sekitar area makam Sawunggaling.

See you there, guys!

0 comments