Stop. Just Stop.

Tengah malam lalu, aku terbangun dengan sebuah pesah masuk yang sign notifikasinya seakan memaksa untuk dibaca saat itu juga. Aku membacanya lantas membalasnya singkat. Lalu entah kenapa aku melanjutkan tidurku dengan mata yang sedikit basah. Seperti rasa bersalah atau mungkin amarah, aku sendiri susah membedakannya.

Di tengah hari, aku seakan tersadar dari pikiran kosong sejak bangun pagi tadi. Mengapa aku harus merasa bersalah? Meskipun aku sejenak larut dalam permainannya toh akhirnya menyadari dan memilih berhenti. Jika dia memilih untuk terus melakukannya dan aku merasa jengah, mengapa dia tersinggung? Harusnya aku yang berhak marah meskipun dia sudah mengatakan dia tak bermaksud untuk marah. Harusnya aku hapus saja pertemanan dalam messaging ini, bukan malah merutuki hidup seakan aku perempuan gatal yang mengemis kehadirannya. Tsk.

Aku menyadari kesalahanku, bahkan paham betul. Untuk itu aku meminta ia pergi atau setidaknya berhenti saja. Berhenti menghubungiku secara diam-diam, berhenti mengucapkan rindu padaku dan berhenti dari rasa nyaman yang selama ini dia ungkapkan. Aku ini dalam keadaan gamang, perhatian samar bisa saja kuartikan jelas kesalahannya. Entah apa namanya jika peringatan dariku ini selalu dia patahkan. Aku tak akan menjadi sombong dengan menyebutkan dia jatuh cinta padaku atau ya memang aku seistimewa itu di matanya. Atau aku yang memang bodoh dengan selalu memikirkan jika ini adalah masih dalam permainannya dan aku terbawa jauh dalam perasaan dan dia tertawa menikmati pertunjukan sial ini.  Sungguh, ini sudah dalam tahap mengganggu.

Aku tak lagi bisa tidur dengan nyenyak. Rasa bersalah dan kusutnya apa yang ada di dalam kepalaku semakin membuatku sakit kepala. Rasa bersalah dengan wanitanya, rasa bersalah jika memang perasaannya memang nyata dan aku hanya bisa mematahkannya atau aku sudah terlalu lelah berusaha untuk tak jatuh pada dirinya.

Jika nanti kau sedang membaca ini, seperti yang sudah berkali aku katakan, berhentilah. Aku sudah tak ingin bermain-main lagi. Tak sepadan perjuanganku mengubur semua yang ada di belakang sana dengan berjalan ke arahmu, ke arah yang salah. Tak sepadan juga puluhan, ratusan atu bahkan ribuan harimu dengannya dipertarukan dengan dua hari yang kau bilang lebih dari cukup untuk ditumbuhi rasa nyaman.

Mari kita mengenal seperti kita di dua bulan yang lalu dimana umpatan dan tawa hanyalah hal yang kita besarkan, bukan perasaan. Untuk semua rasa rindu dan khawatirmu dulu, yang entah nyata atau hanya goda semata, terima kasih.


0 comments