#NyasarPit Lombok - Let's Have a Walk

Hari pertama di Lombok langsung menuju Desa Adat Sade.
Dimulai dengan menunggu lunch box yang dibeli di sekitaran bandara kita mengawali perkenalan dengan masing-masing peserta trip. Jadi tau kalo mas Tito ternyata asli Surabaya, rumah mas Tito di Jakarta ternyata deketan sama mba Tika, Mba Mey yang ternyata asli Jakarta juga mas Danny yang suka batu akik. Dem.

Sampai di Desa Sade langsung disambut oleh guide asli Desa Sade. Sebelum diajak berkeliling, kita dijelaskan tentang sejarah Desa Sade. Desa Sade ini bisa dibilang desa yang masih mempertahankan adat Suku Sasak. Dengan luas sekitar 6 hektar dihuni +- 150-an kepala keluarga yang masih bilangan keluarga. Iya, masih satu keluarga, satu garis keturunan, masih menikahi sama misan atau sepupu. Bukannya ada larangan untuk menikahi orang diluar desa, tapi mahar untuk menikahi orang dari perkampungan luar ini maharnya besar. Yaitu, bisa 2-3 kerbau.

Untuk bangunan rumahnya juga masih jauh dari peradaban meskipun Desa Sade ini lokasinya dipinggir jalan dengan aspal yang jauh lebih bagus dari sepanjang jalan Babatan ke HR. Muhammad di Surabaya HAHAHA. Alus banget tcoyy…
Atap rumahnya masih menggunakan jerami, eh, apa ya namanya?*lah kok nanya balik*
Dinding dari anyaman bambu, pondasi dan peyangga juga dari bambu atau kayu. Untuk lantai masih beralas tanah dan cara unik saat mengepel lantai adalah menggunakan kotoran kerbau (tapi yang fresh ya). Katanya sih salah satu fungsinya mengusir nyamuk, kalau ga salah inget hehehe
Jenis bangunan pun dibedakan sesuai kebutuhannya, jadi rumah kepala desa dan rumah untuk warga ya beda juga.

Kita juga dikasih kesempatan masuk di salah satu rumah warga. Terdiri dua ruangan, sebut aja depan dan belakang. Akses ke ruang belakang menggunakan tangga di tengah ruangan yang jumlah anak tangganya sesuai rukun Islam, ada 5. Ruangan depan terdapat dipan tempat tidur untuk keluarga, sedangkan untuk anak perempuan ada di ruangan belakang yang bersebelahan dengan dapur dan tempat melahirkan. Pemberian ruang khusus untuk anak perempuan ini juga bukannya tanpa alasan, proses pernikahan yang diawali dengan adat culik ini bisa dibilang sebagai alasannya. Jadi untuk menikahi seorang perempuan kita harus menculiknya terlebih dahulu, jadi kalau sudah diculik begitu, mau ga mau orangtua harus menikahkan mereka. Hehehehhehehehehehe.

Mata pencaharian mereka sebagian besar menjadi petani dan juga penenun. Sebuah lumbung juga terdapat di tengah desa untuk menyimpan hasil panen. Hampir setiap rumah menjual kerajinan tangan asli Suku Sasak, kebanyakan sih hasil tenun. Jadi ga jarang melihat ibu-ibu dan para gadis menenun dan kemudian dijual. Dan…. Seorang gadis belum boleh menikah kalau belum bisa menenun.
Hayoloooooooh~~~
 
panas pun dicuekin, demi nikah ya mba :')

kita dikasih kesempatan juga untuk cobain menenun

Keistimewaan lain dari tenun menenum ini adalah, benang yang digunakan dipintal langsung oleh warga juga yang kebanyakan dilakukan oleh para nenek. Yang kita temui waktu itu adalah seorang nenek yang sudah tua banget. Saat itu mas Tito kalo ga salah yang mencoba berkomunikasi sama si nenek, tapi kata mas guide-nya engga usah diajak bicara, langsung foto aja karena si nenek ga bisa bahasa Indonesia. Feeling bad sih sebenernya saat lihat orang pada gegantian foto sementara si nenek tetep meminta benang tanpa ekspresi gitu L



Well, destinasi selanjutnya kita ke Tanjung Aan.
Untuk ke Tanjung Aan ini jalannya tak semulus jalanan Desa Sade, jadi kita masih nemu jalan sempit, berbatu dan berdebu. Di Tanjung Aan ini kita lebih memilih trekking di bukit Aan daripada main air di pantainya. Dan lumayan kaget juga ternyata di atas sana sudah banyak orang, mungkin karena dari sini Tanjung Aan terlihat lebih bagus. Baguuuuuuuuussssss bangettttttttt malah.
 
belum separuh trekking tapi sudah disuguhi yang beginian
dari sisi yang laiin
kira-kita di tengah trekking dan naik ke bagian paling tinggi
ini sok-sokan mau cari rute sendiri buat balik ke parkiran meskipun gagal tapi mayan dapet ngintip bule
Sampe akhirnya waktu makan siang kita beralih ke Pantai Kuta.
Mas Yudi mengarahkan ke sebuah gate yang tulisannya Pantai Mandalika dan menuju sebuah pendopo di salah satu tanjakan sambil menceritakan cerita Putri Mandalika. Seorang putri cantik dambaan raja-raja dari kerajaan sekitar yang akhirnya memilih terjun ke laut karena dia merasa terbebani dengan harus memilih siapa yang akan menjadi pendampingnya. Namun, ia akan tetap datang di setiap bulan kesepuluh kalender suku Sasak dalam jelmaan seekor cacing lau. Iya, cacing. Jadi di bulan tertentu, iya eikk lupa cyint, warga turun ke laut saat air surut dan mencari cacing laut yang diyakini bisa memberikan kesembuhan. Ya, kira-kira begitu lah. Sok googling, ceu..
saat air surut dan biasanya di sini saat festival cari cacing putri mandalika

ambil foto ini dari dalem mobil pas turunan balik dari pendopo waktu makan siang karena memang ga keliling area juga sih


Setelah lunch kita diajak ke pantai Kuta di tengah siang yang panasnya kentang-kentang panas banget.
Sedikit kaget saat menuju ke arah pantai, pasir di sini tergolong gede untuk ukuran pasir pantai. Jadi bisa dikira-kira kayak merica lah ya, jadi kasar banget. Cuma memang ga terlalu lama di sini karena kita lebih milih ke hotel karena pengen nongki-nongki nanti malam. Malam mingguan di Lombok kitaaa~~~
 
pasir "merica"
Malam mingguan di Lombok dibuka dengan makan malam khas Lombok. Ayam Taliwang!
Well, emang lagi ga mood makan pedes dan memang punya lidah ga bisa makan yang pedes, saya milih ikan malam itu. Dan sama aja. Pedes. Ngok.
Akhirnya dilanjut menyusuri jalanan Senggingi untuk cobain kafe-kafe yang berderet sepanjang jalan. Kita cari yang langsung menghadap pantai, dapetnya, The Paragon Café!
Jadi kita disambut live music, tapi lebih milih di luar karena suara ombak ternayata lebih eeeennnnaaaaakkkkk dari penyanyinya malam itu. Semacam penyanyi isomasmay gitu, yang kalau nyanyi lagu barat liriknya suka-suka. Pedih.

Anggaplah ini memang bukan best satnite saat trip mengingat suara penyanyi yang kalo kita dengernya pengen lambai-lambai tangan ke kamera macam peserta uji nyali, yang lirik-liriknya mbuh sakarepe, suasana yang sedikit awkward karena belum bener-bener kenal. Tapi ketemu orang-orang baru, suara ketawa, yang lebih suara ombak meski pantainya ga keliatan dari tempat duduk ini bikin ati adem. Bawaannya ngeruk pasir pantai di depan buat bikin lubang tempat ngubur yang bikin ati empet selama si Surabaya. Eaaa… Tetep diselipin curhat.

Oke, destinasi hari selanjutnya di postingan selanjutnya juga yaa...
Dadaaaaah~~~

0 comments