Thought
![]() |
| pic via. Google |
Baiklah, aku pulang saja.
Mungkin sekalian pergi.
Message Sent.
--
Bagaimana hujan pun tau harus datang di hari para manusia
yang kelam akan mendung di hatinya?
Payung warna-warni segala sisi itu terbuka. Kaki
dibawahnya melangkah pelan lalu mundur lagi. Hujan tak terlalu lebat, namun
rupanya langkah itu jelas terlihat ragu. Dipingiran atap asbes yang menjorok
sedikit melebihi dinding rumah itu ia berteduh dengan payung warna warninya.
Dari sudutku melihatnya tak tampak bagaimana rupa wajah dibalik payung
warna-warni itu. Tapi sepandang orang melihat sosoknya pasti berpikir hal yang
sama dengan diriku. Yang pasti dia seorang wanita, jelas dari rok dan tas
selempang lucu di pundaknya. Orang yang melihatnya pasti akan sepaham pula denganku,
wanita itu pasti dengan rupa yang manis dan gerak yang riang. Entahlah, aku
yakin sekali.
Wajahnya masih tak jelas kugambarkan, mungkin karena ia
menunduk dan pinggiran payungnya membuat penglihatanku semakin tak menemukan
titik fokus wajahnya. Ditambah gerak kakinya yang menendang dalam tanah basah
di bawahnya berulang-ulang seperti melampiaskan sebuah amarah. Sepatu
dengan pita diujungnya sudah tak jelas
warna aslinya, sudah bercampur dengan liat basah dari setiap hentakan kakinya.
Seburuk apa harinya sore ini?
Hujan masih seperti ini, tak begitu lebat juga tak bisa
dibilang gerimis. Sedang begitu loh. Hujan enak kalau menurutku. Tak ada
mendung gelap di sepanjang mata
menelusur langit, tak ada petir menyambar-nyambar atau gemuruh-gemuruhnya, atau
angin yang mengoyak pepohonan yang daunnya akan mengotori sepanjang jalan
paving komplek. Seperti memang diberi waktu Tuhan untuk sekedar beristirahat
sambil menikmati ricik hujan dan segala makhluk yang berlalu lalang. Termasuk
wanita diseberang sana, yang berteduh di bawah pinggiran atap asbes dengan
payungnya.
Ada juga bocah-bocah yang berlarian dengan kepala penuh
busa shampo dan berhenti di bawah pipa pembuangan air dari atap rumah seseorang
untuk membilas keramasnya. Tak jarang ada yang berteriak sial karena busa
shampoo membuat pedih matanya sedangkan yang lain masih berebut air yang keluar
dari pipa air. Atau beberapa pengendara motor yang nekat menerjang hujan dengan
atau tanpa jas hujannya. Sesekali pengendara motor yang begitu berhati-berhati
pada akhirnya akan berteriak sumpah serapahnya ke pengendara motor atau mobil yang yang seenaknya melaju dengan
kecepatan tinggi saat melewati genangan air. Atau orang disebelahku ini, air mukanya
tenang seperti ada keyakinan yang dia pegang bahwa hujan ini akan segera
berakhir.Seadang aku duduk di tangga teras masjid komplek perumahan dengan tampias air
yang hampir membuat basah celana di batas lututku.
Pandanganku masih tak bisa lepas dari wanita di seberang
sana. Sudah hampir setengah jam ia sekan merutuki sebuah kejadian. Tidakkah ia
tahu bocah-bocah busa shampo itu menertawakannya? Tidakkah ia lihat sepatu dan
sekujur lutut hingga kakinya sudah seperti kerbau yang seharian berputar dalam
ladang? Ingin kutarik saja rasanya ke tempat wudhu dibelakangku. Memaksanya
mencuci kaki dan memegangi payung yang warnanya seperti lempengan gulali itu.
Sungguh.
Satu persatu orang yang berteduh denganku berangsur
berkurang karena memilih menerjang hujan dengan raut kesal. Hujannya
begini-begini saja, tanda reda pun tidak. Sementara diujung sana berkali-kali
kudengar suara bernada tinggi melalui telepon orang-orang disekitarku. Entah
memang marah karena yang dihubungi tak juga menampakkan batang hidungnya atau memang
menyeimbangkan suara karena bising kendaraan yang lalu lalang dan suara hujan.
Entahlah.
Aku berkali-kali melihat layar teleponku yang sedari pesan itu
terkirim, bergetar tak tau rima. Biar saja.
Kualihkan pandanganku mencari wanita berpayung yang
seyogyanya ada diseberang seperti lima menit yang lalu masih kupandangi dari
jauh. Dimana dia?
Sepertinya sudah pergi.
Ah!
Aku melihat sekitar masjid tempatku berteduh. Hanya
tinggal aku.
Awalnya ingin kuputuskan untuk menerjang hujan pula toh
di bagasi motorku ada jas hujan, siapa bilang aku tak membawanya. Aku hanya tak
ingin sendiri sore ini, apalagi mendung dan akhirnya hujan. iPod sengaja
kumatikan dan earphone sudah kugulung rapi. Aku sedang menghindar panggilan
masuk, segala jenis lagu yang ada dalam playlistku juga pikiran-pikiran kosong
yang memacuku untuk memikirkan kejadian beberapa jam lalu. Beberapa jam sebelum
aku pada akhirnya mengirimkan pesan itu. Pesan pertanda berakhirnya semua yang
sudah kuperjuangkan mati-matian ya meski sekarang aku belum benar-benar mati. Sore
ini aku hanya harus bertahan melalui hujan tanpa harus menangis. Itu saja. Tapi
yang kuperhatikan sedari tadi sudah hilang, sedang bocah busa sampo juga sudah
pulang diteriaki ibunya, orang-orang yang tadinya berteduh denganku berangsur
hilang. Lantas siapa lagi yang harus kupikirkan agar aku tetap sibuk berpikir
tanpa harus memikirkan kejadian siang tadi?
Jika sudah begini pada akhirnya aku yang kalah. Gara-gara wanita berpayung
itu pergi entah kemana, tak ada lagi yang sibuk kupikirkan dan seperti inilah
aku sekarang. Memeluk lutut dengan celana yang sudah basah, high heels yang
pada akhirnya kulepas dan bernyanyi lirih sebuah lagu sedih.


0 comments