Jelaga Bianglala






Tetiba hujan menyisir para pelaku hidup dibawahnya.
Menyisakan sebagian kesal yang percuma.

Lelaki disebelahku merutuki Tuhan sang Kambing Hitam hari naasnya. Sedetikpun tak kudengar dia berhenti mencela Tuhannnya.
Lucu.
Ini hanya hujan.

Sekelebat pikirku, kupikir dia pelaku hidup yang tak pernah mau kehilangan waktu. Dan hujan, berhasil menyita waktunya di toko pinggir jalan yang sederhana.
Perfeksionis.
Dan, Tuhan dan Hujan berhasil mengganggu harinya.

Cepat sekali memori itu berulang ketika hujan.
Aku tersenyum pedih mengingatnya.
Tuhan terlalu buru-buru memintamu pulang. Tanpa memberi izin kamu untuk menemuiku. Bahkan sekedar mengucapkan selamat tinggal, Tuhan pun tak sabar.

Kubiarkan memang jelaga itu menyemburat pada dinding hidupku. Ya, kenangan kita.
Biar jelaga asal warna-warni pun aku tak keberatan. Karena satu detik milik kita dahulu tak pernah kau toreh warna selain warna-warni.
Jadi, mengapa harus menghapusnya?

Biar bagaimana akhir dari semua ini, aku pun tak punya tuntutan lain selain meminta Tuhan untuk tetap terus menjagamu dan membiarkan aku terus menjalani hidup.

8 Mei 2012.

0 comments